Rabu, 06 Oktober 2010

Gerakan Dakwah di Era Globalisasi


Oleh Asep Setiawan
I. PENDAHULUAN
Pergulatan pemikiran di lembaga dakwah adalah hal biasa. Konteks sosial dan politik serta perubahan di sekeliling gerakan dakwah itu sering mewarnai berbagai pandangan yang muncul. Oleh karena itu, sebuah pemikiran seyogyanya bisa ditempatkan dalam horison yang lebih luas supaya bisa menempatkannya dalam kerangka dinamika dakwah umat Islam di muka bumi.
Jika kajian gerakan itu ditarik ke arah yang lebih sempit dan terisolasi dari ruang sejarah yang bermunculan di sekitarnya, sulit bisa melahirkan sebuah gerakan yang kontekstual.
Dengan kata lain, gerakan dakwah itu tidak lepas dari determinasi waktu. Namun demikian nilai-nilai sebuah gerakan karena sosialisasi yang luas dan terbuka mungkin muncul pada waktu dan tempat yang berbeda. Oleh karena itu untuk melihat sebuah gerakan dan aksi pemikiran yang merupakan aktualisasi dari tafsiran sebuah nilai normatif perlu dilihat pula perjalanan sejarah gerakan yang mengangkat Islam di muka bumi.
Pemihakan yang berlebihan terhadap sebuah gerakan yang tidak lepas dari kontinum waktu akan menyebabkan mandeknya berpikir dan pengkultusan sehingga suatu saat tidak tahan lagi terhadap arus perubahan zaman. Makalah ini akan meninjau secara singkat, pada bagian pertama, tentang kronologis gerakan kebangkitan Islam yang berusaha untuk mengangkat kembali nilai-nilai luhur Islam dalam tataran praktis di suatu wilayah dan waktu tertentu. Untuk melengkapi tinjauan itu akan diulas pula contoh-contoh aliran pemikiran yang hidup dalam berbagai gerakan dakwah.
II. RESPON UMAT
Kalau kita sejenak melacak akar-akar pemikiran dan kelembagaan gerakan Islam sejak dibawakan Nabi Muhammad Rasulullah kemudian dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin dan diikuti dengan lahirnya Dinasti Umayah dan Abasiyah dengan ujung kekhalifahan tahun 1927 di Turki, maka kita akan mendapat gambaran yang lebih besar tentang upaya umat Islam untuk menegakkan nilai-nilai yang diyakininya.
Dalam lampiran pertama kita bisa menginterpretasikan sebuah kerangka perjalanan umat Islam bahwa gerakan-gerakan pembaruan dan penyegaran Islam itu lahir karena krisis sosial, ekonomi atau mungkin politik. Ketidakpuasan terhadap lingkungan yang berkembang baik dalam penafsiran, penerapan atau aplikasi nilai Islam dalam kehidupan telah melahirkan berbagai respon dari kalangan umat Islam. Respon itu ada yang berbentu sebuah gerakan dakwah yang kemudian terlembagakan dalam bentukan unit politik yang disebut negara.
Namun ada pula yang meniupkan kebangkitan Islam untuk lepas dari kebodohan, kemiskinan dan penindasan penjajah dari Barat. Dari tabel itu terlihat bahwa upaya umat Islam untuk bangkit tidak hanya muncul di Indonesia. Gerakan itu sudah muncul di berbagai wilayah di muka bumi yang dihuni umat Islam.
Dengan kata lain, gerakan Islam itu bukan eksklusif pertama kali di Indonesia, bukan pula hanya di Indonesia dan umat di tempat lain tidak pernah melakukan hal yang diinginkan seperti umat di Tanah Air. Apalagi kalau rentang waktu dibentangkan sejak Nabi Muhammad membawa obor yang jadi Rahmat Seluruh Alam, maka kita akan menyaksikan betapa gerakan dakwah yang ada di Indonesia itu hanyalah satu titik dari rangkaian seluruh perjuangan umat Islam untuk menyelamatkan umat manusia. Jika gerakan di Indonesia itu diletakkan dalam kerangka waktu sejarah umat manusia sejak Nabi Adam, maka tiadalah artinya. Titiknya bahkan tidak terlihat lagi karena Indonesia sebagai sebuah negara nasional atau unit politik modern yang mengikuti pola Barat baru lahir tahun 1945. Jika kita meneropong sebuah peta pemikiran yang teraktualisasikan dalam lembaga-lembaga dakwah modern maka kita juga bisa menyaksikan berbagai tipologi respon umat terhadap tantangan jaman.
Respon itu ada yang berbentuk kultural sosial dan ada pula yang berbentuk struktural sebagai sebuah pendekatan untuk menegakkan citra Islam di masyarakatnya. Kembali kita lihat bahwa sesungguhnya respon terhadap lingkungan itu menjadi sebuah makna apabila pimpinan gerakan dan elit di sekitarnya mampu menterjemahkan nilai-nilai normatif itu menjadi sebuah petunjuk praktis untuk menyelesaikan persoalan hidup zamannya.
Persoalan hidup pada era globalisasi sekarang telah melahirkan banyak tantangan bagi gerakan dakwah namun masih kurang tersentuh karena sebagian belum menemukan format yang tepat dengan perubahan lingkungan yang merupakan ayat-ayat yang seharusnya dipikirkan dengan akal budi manusia.
III. REVITALISASI
Dari kenyataan sejarah itu timbul pertanyaan apakah kita akan menafikan gerakan dakwah yang muncul di berbagai kawasan dan di kurun waktu yang berbeda untuk menekankan pemilikan sejarah kita ? Atau kita akan terjatuh dalam pengkultusan sejarah kurun waktu tertentu dan menghapus sejarah perjuangan umat Islam lainnya ? Atau mungkin kita hanya berasyik masyuk dengan persoalan sepele tetapi melupakan asas yang sebenarnya tentang dakwah yang membawa rahmat bagi seluruh alam ?
Jika kita kaji secara lebih dalam dan dengan semangat mencari kebenaran dan serta sadar akan keterbatasan dalam mencari kebenaran itu, maka kita akan melihat sesungguhnya penerimaan terhadap struktur, pemikiran dan sejarah sebuah lembaga dakwah seyogyanya ditempatkan dalam kerangka gerakan dakwah dunia. Artinya keterlibatan dalam lembaga dakwah itu bukan soal menerima setengah, sepenuhnya tau menolak setengah dan sepenuhnya melainkan keterlibatan spiritual terhadap misi yang dibawa para Nabi dan Rasul sejak Nabi Adam sampai Rasullah SAW. Mahkamah sejarah nanti akan menyaksikan bahwa keterlibatan itu tidak didasari sebuah pandangan yang menolak eksistensi dan kiprah gerakan dakwah yang muncul di mancanegara dalam kurun waktu yang berbeda-beda.
Namun sebuah penghayatan yang kemudian menimbulkan kekaguman, takjub dan tasbih kepada Sang Maha Pencipta bahwa seluruh proses penegakan itu memang hasil perjuangan umat Islam dari generasi ke generasi sampai akhir jaman.Aktualisasi dalam bentuk budaya organisasi atau budaya bernegara itu hanyalah bagian dari manifestasi kebudayaan manusia, bukan sesuatu yang abadi. Dari jaman ke jaman bentuk komunitas sosial, politik, ekonomi dan budaya mengalami perubahan.
Oleh sebab itu kita akan melihat karya-karya manusia – sehebat dan sebesar apapun, kecuali karya para Nabi dan Rasul – tetap tidak lepas dari konteks sejarah. Karena pada dasarnya manusia itu tidak lepas dari kesempurnaan perjalanan waktu, maka karya-karya dan monumen umat Islam itu harus dimekarkan dan dikembangkan bukan untuk dibawa-bawa sampai lupa bahwa alat organisasi yang berkonteks budaya dan sejarah itu bukan tujuan akhir, tapi sasaran antara.Lalu bagaimana kita menempatkan sebuah pemikiran dan aktualisasinya berupa organisasi ? Kembali kepada pesan Qur’ani untuk membawa Rahmat Bagi Seluruh Alam dalam rangka memakmurkan bumi Ilahi ini maka penghayatan terhadap organisasi itu tetap berada dalam pagar-pagar Islami.
Artinya tidak ada yang mutlak selain penafsiran yang dikeluarkan oleh Allah SWT dan para Rasul Penafsiran manusia sesuci apapun tetap terkurung waktu dan jaman sehingga berkembangnya pemikiran itu adalah sesuatu yang wajar.Jika kita terjemahkan lebih jauh lagi, bermain mutlak-mutlakan apalagi disertai dengan judgement yang kakuakan melahirkan perpecahan dan friksi yang tanpa henti. Perbedaan tidak menjadi rahmat melainkan malapetaka. Hal itu mungkin berakar dari penempatan akal dan pemikirannya dalam menafsirkan nilai-nilai abadi itu secara harga mati.Yang lebih esensial dari perdebatan itu sebenarnya apakah proses dialog itu melahirkan sebuah karya dan aksi yang akan membawa kepada manifestasi nilai-nilai Ilahiah dalam diri, kelompok, masyarakat lokal dan desa global.
Jika pencarian ijtihad itu berhenti dan nilai mutlak ditetapkan sebagai final dari seluruh perjalanan umat, maka kita seperti mengingkari Sunatullah dimana manusia silih berganti mengisi gerakan dakwah itu.Komitmen terhadap misi dasar yang sudah dijalankan dari sejak awal oleh para pendakwah mungkin akan memudahkan dalam mencairkan kebekuan pemikiran baik terhadap sesuatu yang sudah diangkat sakral dalam sejarah atau respon terhadap peristiwa kontemporer seperti friksi dalam lembaga dakwah atau persoalan sosial dan ekonomi yang timbul akibat gaya berorganisasi dan gaya berdakwah.
IV. PENUTUP
Jika kita belajar dari perjalanan umat lebih arif lagi, ternyata salah satu dari sekian butir hikmah yang muncul adalah bahwa dalam perjalanan dakwah, umat selalu diingatkan kepada nilai-nilai dasar dan aktualisinya dalam kehidupan masyarakat.
Di sinilah sikap dewasa dan bijaksana itu diminta kepada para pimpinan umat yang menduduki posisi penting dan membawa aspirasi umat.Dalam era globalisasi seperti sekarang, arus pengetahuan, informasi, modal dan teknologi hilir mudik dengan cepat dari satu kawasan ke kawasan lain, dari satu negeri ke negeri lain. Sepertinya gerakan dakwah mendapat tantangan baru untuk merespon secara tepat tentang bagaimana arus global itu dihadapi dan ditanggapi. Namun tentu saja perlu diidentifikasi lebih dahulu apa yang baik dan buruk untuk terciptanya masyarakat yang penuh dahmat dan diridhai-Nya. Wallahu’alam.
Baca selengkapnya »

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © Fhu May Zhe 2010

Template By Nano Yulianto