Senin, 27 Desember 2010

permasalahan dakwah dari berbagai persfektiif

NAMA            : MIA SUMIYAT
NIM                : 208 400 770
JUR/SMSTR  : MD/V
Mata Kuliah   : Metode Pengembangan Dakwah
TUGAS          : UTS
PERMASALAHAN DAKWAH DARI BERBAGAI PERSFEKTIF
A.    Permasalahan Dakwah menurut Persfektif  Materi
Hukum Dakwah dalam al-Qur'an
Hukum dakwah terdiri dari dua kata yaitu hukum dan dakwah. Hukum menurut M.H. Tirtaatmadja ialah semua aturtan (norma) yang harus diturut dalam tingkah laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian –jika melanggar aturan-aturan itu—akan membahayakan diri sendiri atau harta. Sedangkan menurut J.C.T. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto berpendapat bahwa hukum ialah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibatkan diambilnya tindakan, yaitu dengan hukum tertentu. Pengertian dakwah secara bahasa berasal dari bahasa Arab,و د,ع, yang berarti dasar kecenderungan sesuatu disebabkan suara dan kata-kata. Sedangkan secara istilah pengertian dakwah mengalami perkembangan dan perbedaan makna sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan sebagaimana telah dijelaskan di atas. Dengan demikian pengertian hukum dakwah adalah aturan-aturan yang memuat tentang kewajiban dan tata-cara dakwah sesuai dengan hukum Islam.
Ditinjau dari segi fiqh hukum itu sendiri terdiri dari beberapa pembagian yaitu: hukum akli, hukum syar’i dan hukum ‘adi. Mengenai pembagiannnya diterangkan berikut ini:
1.     Hukum Akli. Hukum akli adalah hukum yang berkaitan dan dapat dipahami melalui pendekatan fikiran. Berkaitan dengan ini ada tiga bentuk hukum fikli yaitu: 1) wajib akli, yaitu hal-hal yang mesti/wajib difikirkan/diputuskan melalui pendekatan akal, 2) harus akli, yaitu hal-hal yang lebih baik memutuskan atau menetapkan sesuatu melalui pendekatan akal, 3) mustahil akli yaitu hal-hal yang tidak mungkin mengunakan akal dalam memutuskan atau menetapkan sesuatu.
2.     Hukum sar’i. Yaitu seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam. Hukum sar’i dapat dibagi dua yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.
Pertama, hukum taklifi adalah titah (perintah Allah) langsung mengenai perbuatan orang mukallaf.
Hukum ini terbagi pula menjadi enam bagian yaitu: 1) tuntutan mengerjakan secara pasti ditetapkan melalui dalil yang qath’i atau pasti, disebut fardu, 2) bila dalil yang menetapkannya bersifat tidak pasti (zhanni), hukumnya disebut wajib, 3) Tuntutan untuk memperbuat secara tidak pasti dengan arti perbuatan itu dituntut untuk dilaksanakan. Terhadap yang melaksanakan, berhak mendapat ganjaran akan kepatuhannya, tetapi bila tuntutan itu ditinggalkan tidak apa-apa, tuntutan ini disebut nadb atau mandub, 4) tuntutan untuk meninggalkan secara pasti dengan arti yang dituntut harus meninggalkannya. Tuntutan dalam bentuk ini disebut tahrim, sedangkan perbuatan yang dilarang secara pasti itu disebut haram, 5) tuntutan untuk meninggalkan atau larangan secara tidak pasti dengan arti masih mungkin ia tidak meninggalkan larangan itu. Orang yang meninggalkan larangan berarti ia telah mematuhi yang melarang. Karenanya ia patut mendapat ganjaran pahala. Tuntutan seperti ini diusebut dengan makruh, 6) titah Allah yang memberikan kemungkinan untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan. Tuntutan ini disebut dengan mubah.
Kedua hukum wadh’i. hukum ini bukanlah dalam bentuk tuntutan, tetapi dalam bentuk ketentuan yang ditetapkan pembuat hukum sebagai sesuatu yang berkaitan dengan dengan hukum taklifi atau merupakan akibat dari pelaksanaan hukum taklifi itu. Hukum wadh’i itu sendiri menurut Amir Syarifuddin dapat dibagi menjadi tujuh bagian yaitu: 1) sesuatu yang ditetapkan oleh pembuat hukum menjadi sebab terjadinya hukum taklifi. Hukum ini disebut dengan hukum asbab, 2) sesuatu yang ditetapkan oleh pembuat hukum menjadi syarat terdapatnya hukum taklifi. Hukum ini disebut dengan hukum syarat, 3) sesuatu yang dijadikan pembuat hukum sebagai penghalang berlangsungnya hukum taklifi, disebut dengan mani’, 4) akibat hukum dari suatu perbuatan taklifi yang sudah berlaku padanya sebab, sudah terpenuhi syarat-syarat yang ditentukan dan telah terhindar dari segala mani’, disebut shah, 5) akibat dari suatu perbuatan taklifi yang tidak memenuhi sebab atau syarat; atau terpenuhi keduanya tetapi terdapat padanya mani’, disebut dengan batal, 6) pelaksanaan hukum taklifi berdasarkan dalil umum tanpa memandang kepada keadaan mukallaf yang melaksanakannya, disebut azimah, 7) pelaksanaan hukum taklifi berdasarkan dalil yang khusus sebagai pengecualian dari dalil umum karena keadaan tertentu, disebut rukshah.
3.     Hukum Adi. Yaitu hukum yang dibuat oleh pembuat hukum dalam hal ini pemerintah untuk mengatur kemaslahatan orang banyak dalam sebuah negara atau wilayah yang lebih besar. Hukum dalam bentuk ini misalnya Undang-undang Dasar, UU, PP, Kepres, kepmen, dll.
Dari beberapa pembagian hukum di atas dapat disimpulkan bahwa hukum dakwah itu adalah hukum wajib ’ain, yaitu kewajiban yang mesti dilakukan oleh setiap ummat Islam sesuai dengan kemampuan dan kapasistas masing-masing. Kesimpulan penulis ini di dasarkan pada beberapa pertimbangan:
1.     petunjuk ayat yang menyatakan tentang kewajiban dakwah adalah menggunakan piil amar yang berarti wajib untuk dikerjakan
2.     kegiatan dakwah adalah kegiatan yang pada prinsipnya menyampaikan kebenaran dan kebaikan oleh karena itu menyampaikan kebaikan dan kebenaran itu adalah menjadi tugas seluruh umat Islam sesuai dengan kemampuan masing-masing
3.     adanya pendapat yang menyatakan bahwa kewajiban dakwah adalah fardu kifayah, sepanjang pengamatan penulis telah mengkerdilkan makna dakwah, menjadi sesuatu yang boleh dan tidak untuk dilakukan. Hal ini sangat bertolak belakang sekali dengan tujuan dan prinsip dakwah yaitu menyampaikan kebenaran.
4.     untuk mengembalikan fungsi dakwah dan menegakkan kebenaran di muka bumi maka tugas dakwah mestilah dimasukkan kepada hukum fardu ’ain yaitu kewajiban yang mesti dilakukan oleh setiap muslim yang telah baliqh.
Pembagian Hukum
Posisi Hukum Dakwah
’Adi, wajib fikli, UU, PP, UUD, Kepres, Kepmen, Akal, Wajib Fikli, Harus akli, Mustahil akli, Wajib akli

Fardu, Wajib, Nadb, haram, makruh, mubah, Ta’lifi, Syar,I, Wadi, Asbab, Syarat, Mani’, Shah, Batal, Azimah, Rukhsoh, Aini, Kifayah




Berdasarkan ayat al-Qur'an, ulama sepakat bahwa hukum dakwah itu secara umum adalah wajib, sedangkan yang menjadi perdebatan adalah apakah kewajiban itu dibebankan kepada individu muslim atau hanya dibebankan kepada kelompok orang saja dari secara keseluruhan, perbedaan pendapat mengenai hukum berdakwah disebabkan perbedaan cara pemahaman mereka terhadap dalil-dalil nakli disamping kenyataan kondisi setiap muslim yang berbeda pengetahuan dan kemampuan. Ayat yang menjadi pokok pangkal pendapat itu adalah surat Ali-Imran ayat 104.
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (آل عمران: ١٠٤)
Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar . merekalah orang-orang yang beruntung”.
Pada ayat tersebut terdapat tiga kewajiban yang dihadapi. Yang dua berpusat kepada yang satu. Yang satu ialah mengajak kepada kebaikan. Dan menimbulkan dua tugas.
Pertama menyuruh berbuat ma’ruf dan kedua melarang berbuat munkar.
Yang baik dua kata kerja yang disuruh oleh Allah kepada manusia yaitu berbuat ma’ruf dan mencegah yang munkar. Di dalam tafsir Jamaluddin al-Qasimi dinyatakan pada surat Ali-Imran ayat 104 memberikan alasan tentang wajib untuk menyeru kepada makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan mewajibkan kepadamu sebagaimana ditetapkan dalam al-Qur'an dan sunnah.
Ahmad Mustafa Al- Maraghi –dalam menafsirkan surat Ali Imran: 104—memebedakan antara الخير dan الْمَعْرُوف. Kataالخير adalah sesuatu yang di dalamnya terkandung kebaikan bagi umat manusia dalam masalah agama (prinsip ajaran agama) dan duniawi. Kata الْمَعْرُوف adalah apa yang dianggap baik oleh oleh syari’at dah akal. Disini Allah SWT., memerintahkan agar melakukan penyempurnaan terhadap selain mereka, yaitu anggota-anggota masyarakatdan menghimbau agar mengikuti perintah-perintah syari’at serta meninggalkan larangan-larangan-Nya, sebagai pengukuhan terhadap mereka untuk memelihara hukum-hukum syari’at dalam rangka memlihara syari;at dan undang-undang. Jadi hendaklah didalam jiwa manusia itu tertanam cinta kepada kebaikan dan berpegang teguh kepada syari’at.

Dikatakan demikian sangat kuat bahwa kewajiban amar makruf nahi mungkar adalah sebuah tanggung jawab penuh bagi semua umat muslim kepada kepada seorang muslim lainnya, dan dengan melaksanakan kegiatan amar makruf nahi mungkar akan menyebabkan semua lapisan masyarakat akan mampu mengamalkan ajaran Islam dengan baik dan penuh dengan redha Allah SWT, dengan demikian palaksanaannya juga harus sesuai dengan kapasitas kemampuanya, dan tidak menuntut para individu dalam malaksanakan dakwah diluar kemampuan mereka.
Lebih lanjut M. Natsir mengatakan bahwa kewajiban dakwah merupakan tanggungjawab kaum muslimin dan muslimat. Dan tidak boleh seorang muslim/muslimah pun dapat menghindarkan diri dari padanya. Kemudian Toha Jahya Omar mengungkapkan bahwa hukum dakwah adalah wajib sesuai dengan surat an-Nahl: 125.
ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk
Kewajiban dakwah menurut Toha Jahya Omar pada ayat di atas, di dasarkan pada kata-kata ud’u yang diterjemahkan dengan ajaklah adalah fi’il amar. Menurut aturan Ushul Fiqh amar menjadi perintah wajib yang harus dipatuhi selama tidak ada dalil-dalil lain yang memalingkannya dari wajib itu kepada sunat dan lain-lainnya.
Lebih lanjut M. Natsir menyatakan bahwa tugas umat secara keseluruhan bukan hanya memonopoli golongan yang disebut dengan ulama atau cerdik pandai dan cendikiawan. Bagaimana suatu masyarakat akan mendapat suatu kemajuan apabila para anggota memiliki ilmu yang sedikit atau banyak atau ilmu agama atau ilmu dunia tidak tersedia mengembangkan apa yang ada pada diri mereka untuk selamanya. Suatu ilmu yang bermanfaat bagi tiap-tiap yang khair, dan yang makruf, yang baik, patut dan pantas dan terbit bagi tiap orang, dan tiap-­tiap benih kebenaran itu memiliki daya kemampuan, sendiri dan tinggal lagi menaburkan dan memupuknnya dan bagaimana pula suatu masyarakat akan selamat bila anggotanya sama-sama diam, masa bodoh terhadap kemungkaran, tiap-tiap bibit kemungkaran memiliki daya geraknya sendiri, di waktu masih kecil ia ibarat seperti bara yang sukar dimatikan.
Hukum Dakwah Dalam Hadis
Selain al-Quran, di dalam hadits juga terdapat perintah atau suruhan untuk melakukan dakwah. Hukum dakwah ini nampaknya juga akan berbeda pada setiap orang tergantung situasi dan kondisi yang dialami orang tersebut dalam pandangan hukum. Abu Sa’id Al-Khudry ra. Berkata, Aku Mendengar Rasulullah SAW., bersabda “Barangsiapa diantara kamu melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mencegah dengan tangan (kekerasan atau kekuasaan), jika ia tidak sanggup dengan demikian (sebab tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan), maka dengan lidahnya, dan jika tidak mampu (dengan lidahnya) yang demikian itu adalah selemah-lemah iman”. (HR. Muslim).
Dengan demikian berdasarkan hadits tersebut menurut penulis ada dua macam hukum dakwah yaitu hukum secara umum dan hukum secara khusus. Hukum secara umum adalah bahwa pelaksanaan kegiatan dakwah ditetapkan sebagai kewajiban yang hukumnya fardu kifayah. Hal ini disebabkan karena tidak mungkin semua orang memiliki potensi sebagai muballigh dan dapat melaksanakan dakwah dengan baik. Sedangkan hukum secara khusus adalah ketetapan hukum yang dijatuhkan kepada seseorang yang keluar dari hukum fardu kifayah, disebabkan oleh tingkatan kemampuan dan ketidakmampuan seseorang.
Ada tiga cara dakwah pada hadits tersebut. Pertama mencegah dengan tangan atau dengan kekuasaan atau jabatan yang dimiliki seseorang, yang dengan jabatan atau wewenang yang dimilikinya dia akan didengarkan orang atau orang akan menyeganinya. Kedua dengan cara lisan yaitu berbicara dengan kebenaran yang dilontarkan kepada mereka yang melakukan kemungkaran dan orang ini harus mempunyai mental yang cukup kuat dan dalam melakukan tindakan pencegahan kemungkaran. Ketiga dengan hati, ini merupakan jalan terakhir untuk menasehati orang lain yaitu merupakan selemah-lemah keadaan seseorang, setidak-tidaknya ia masih tetap berkewajiban menolak kemungkaran dengan hatinya kalau ia masih dianggap Allah sebagai orang yang memiliki iman, walaupun iman yang paling lemah, yakni mentalnya tidak sanggup untuk mencegah kemungkaran. Penolakan kemungkaran dengan hati merupakan batas minimal dan benteng tempat penghabisan dari upaya pencegahan kemungkaran.
Menurut penulis pada cara pertama ketika seseorang memiliki power dan kemampuan untuk mengendalikan orang lain pada jalan yang benar maka jatuh hukum wajib baginya yang dilakukan secara konsep kifayah untuk mencegah kemungkaran dengan kekuatannya. Hal ini juga memberi pengertian bahwa wajib bagi orang yang memiliki power untuk berdakwah mencegah kemungkaran dengan kekuatan maupun dengan menggunakan lisan. Akan tetapi jika dia memiliki kekuasaan tetapi tidak dapat mampu mengendalikan kekuasaan tersebut, atau dengan kata lain dia berada dalam kendali orang lain, maka hukum dakwah secara pribadi dan khusus menjadi tidak wajib baginya akan tetapi dapat berubah fungsi menjadi hukum yang lain.
Kemudian pada keadaan yang kedua di mana seseorang dengan keberaniannya mampu mencegah kemungkaran dengan cara lisannya, dengan siap mental menanggung resiko apapun yang akan terjadi karena tindakannya. Maka menurut penulis jatuh hukum sunat padanya untuk mencegah kemungkaran. Artinya, hal ini dapat dipahami bahwa jika seseorang yang tidak mempunyai power tetapi dia memiliki kemampuan mental untuk berdakwah dan dia mengetahui bahwa resiko akan terjadi sebagai akibat dari tindakannya maka sunat baginya berdakwah.
Selanjutnya pada keadaan yang ketiga di mana seseorang tidak memiliki kemampuan, dan juga tidak siap secara mental untuk mencegah kemungkaran maka jatuh hukum mubah baginya untuk tidak mencegah kemungkaran asalkan di dalam jiwanya berkata bahwa dia tidak setuju dengan kemungkaran yang dilihatnya. Dengan demikian hal ini juga dipahami bahwa ketiak seseorang tidak memiliki kekuasaan, kemampuan secara lisan dan tidak memiliki kesiapan mental maka jatuhlah hukum mubah untuk tidak berdakwah baginya. Meskipun para ulama berpendapat bahwa pada dasarnya hukum dakwah secara umum adalah fardu kifayah, namun demikian menurut penulis hukum dakwah seperti yang diuraikan di atas mestilah dikembalikan pada hukum fardu ’ain agar setiap orang berbuat dan menyampaikan kebenaran.
Hadis di atas juga ditegaskan oleh hadis lain bahwa Khuzaifah ra. Nabi SAW. Bersabda "Demi zat yang menguasai diriku, haruslah kamu menegakkan kepada kebaikan dan haruslah kamu mencegah perbuatan yang mungkar, atau Allah akan menurunkan siksa kepadamu, kemudian kamu berdo'a kepada-Nya dimana Allah tidak akan mengabulkan permohonanmu (HR. Turmudzi).
Hadits di atas tidak menjelaskan hukum dakwah secara jelas, akan tetapi surahan untuk mengerjakan dakwah jelas dikatakan. Hal ini juga membuktikan bahwa menurut penulis hukum dakwah itu sangat berkaitan sekali dengan kondisi dan keadaan seseorang.
Hadis ini telah didahului dengan sumpah Nabi SA W. Bagi umat Islam yang merupakan pilihan bagi mereka akan mendapat siksa dari Allah, karena mereka telah dianggap oleh-Nya telah mengabaikan tugas agama yang sagant penting dan wajib ini. Sehingga kemurkaan Allah bukan kepada orang yang melakukan kemungkaran, namun terhadap umat secara keseluruhan seperti finnan-Nya "Dan peliharalah dirimu dari siksa Allah yang tidak khusus akan menimpa orang yang zalim saja diantara kamu dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksanya (QS. AI-Anfal: 25)
Kesimpulan tulisan di atas adalah:
1.     Al-Quran dan hadits menyuruh umat muslim dan muslimat untuk berdakwah
2.     Menurut kebanyakan ulama secara umum hukum dakwah adalah fardu kifayah
3.     Menurut penulis hukum dakwah adalah fardu ’ain agar setiap muslim berbuat, menegakkan dan menyampaikan kebenaran.
B.    Permasalahan Dakwah menurut Persfektif metodoloi dan Profesionalisme
Awal abad 20 menandakan sebuah perkembangan yang cukup menarik tentang pembaruan Islam di Indonesia. Berdirinya organisasi keislaman seperti Persis dengan tokohnya A. Hassan Isa Anshari M. Natsir dkk. Al-Irsyad Al-Islamiyyah dengan pendirinya Syaikh Ahmad As-Surkati dan Muhammadiyah dgn pendirinya KH. Ahmad Dahlan membawa misi secara serempak tentang Perlunya tajdid dalam substansinya yg paling dalam adalah kembali pada Al-Qur’an dan As-Sunnah serta memerangi segala bentuk syirik bid’ah khurafat dan takhyul. Hal ini bukanlah suatu kebetulan sejarah sebab proses yg mendahuluinya adalah adanya sebuah wacana umum kebangkitan Islam yg dipicu oleh tokoh-tokoh yg menyerukan Pan Islamisme semisal Jalaluddin Al-Afghani Syaikh M. Rasyid Ridha dll. Sebagai respon alami terhadap keterbelakangan kejumudan dan kebodohan secara spiritual sosial politik dan budaya yg melanda kaum Muslimin. Puncaknya adal runtuhnya Daulah Utsmaniyah sebagai representasi dari sebuah khilafah Islamiyah yg diakui kaum Muslimin di masa Sultan Abdul Hamid II oleh seorang agen Yahudi bernama Mustafa Kemal Attaturk. Seiring dgn itu mulai masuknya kitab-kitab referensi penting ke tanah air melalui para hujjaj yg berasal dari tanah air seperti “Subulus Salam” karya Syaikh Ash-Shan’any dari Yaman “Irsyadul Fuhul” karya Imam Asy-Syaukany dll.
Upaya pembaruan ini cukup berhasil dgn berdirinya berbagai sekolah-sekolah dan pranata sosial lainnya hingga pada momentum yg cukup mengesankan adalah berdirinya kekuatan politik umat Islam Indonesia bernama Masyumi yg dimotori oleh tokoh-tokoh pembaru. Jika kemudian terjadi preseden buruk dengan dibubarkannya Masyumi oleh presiden Soekarno di tahun 1951 hal itu tidak bisa meruntuhkan begitu saja militansi mereka untuk menyebarkan gagasan-gagasan Islam tentang visi kehidupan secara menyeluruh melalui gerakan dakwah pendidikan dan sosial di masa-masa selanjutnya. Justru sebaliknya terdapat suatu opini yg jamak diketahui oleh para pemerhati problematika umat Islam yg jujur bahwa Indonesia meskipun mayoritas muslim bahkan sebagai negara terbesar yang berpenduduk muslim tapi secara politik sosial ekonomi dan kultural masih didominasi oleh wacana-wacana sekuler dan nasionalisme yg sangat kontra produktif dgn Islam.
Oleh karena itu proses penyadaran pemahaman dan pemberdayaan harus terus digalang oleh segenap institusi umat Islam, tidak saja oleh segenap institusi umat islam tapi juga oleh semua kekuatan elemen umat melalui gerakan dakwah yg merupakan ajakan-ajakan sistematis dan terencana dengan obyek manusia secara umum agar beraqidah tauhid yg lurus dan murni beribadah yg benar dan berakhlaq yg mulia.
Dari sini muncul sebuah problem praksis bagaimanakah roda dakwah mesti digulirkan ? Kenyataannya bahwa sebagian du’at lebih mendahulukan aspek syi’ar daripada substansi Islam berupa aqidah yg benar. Tanpa mengurangi makna totalitas Islam dakwah tetap butuh pada prioritas . Merujuk pada kehidupan dakwah Rasulullah SAW. pada periode Makkah dimana beliau melakukan pembenahan aqidah secara simultan dgn menekankan keharusan mengesakan Allah dan menjauhi segala indikasi penyekutuan terhadap-Nya. Karenanya perbaikan umat kemarin sekarang dan akan datang harus diupayakan berda di jalan ini. Sebab kita tidak butuh seorang yg melek budaya Islam atau ‘melek’ politik Islam tetapi tidak mengerti aqidah yg lurus dan cara beribadah yang benar.
Problematika Dakwah di Indonesia Tantangan dalam prespektif kehidupan sejatinya mengasah kecerdasan dan kreatifitas manusia untuk menyelesaikannya dan merubahnya menjadi harapan. Dalam konteks Indonesia problematika yang menyangkut dakwah akan selalu ada selama denyut nadi umat Islam masih berdetak. Tantangan kristenisasi kebodohan maraknya kelompok-kelompok yang mengaku menyuarakan Islam disharmoni dgn pemerintah setempat ataupun policy nasional kebebasan pers dan media massa yang tidak terkendali dan bertanggung jawab dsb adalah wacana-wacana eksternal dalam problematika dakwah. Dalam kasus internal profesionalisme da’i dalam pengertian yg seluas-luasnya masih menjadi keluhan mendasar. Karena da’i sebagai agent of change harus mempunyai visi yg jelas tidak saja menyangkut wawasan Islam yg utuh tapi juga visi menyeluruh Islam tentang politik ekonomi sosial dan budaya dalam mengarahkan umat Islam kepada suatu tatanan yg lebih mapan establish maju dan diperhitungkan di hadapan umat-umat lain. Misi Islam tidak saja agar Islam menjadi sebuah keniscayaan nilai yg terimplementasikan dalam kehidupan menyeluruh umat manusia. Ia adalah sebuah wacana praksis yg meskipun tidak bisa dipaksakan kepada manusia akan tetapi hanya dengan itulah keadilan dalam maknanya yg paling luas dan dalam dapat terlaksana; dalam sebuah kekhilafahan yg berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sepintas hal diatas terlalu diatas awang-awang dan “bagaikan pungguk merindukan bulan”. Tapi sesungguhnya ia tidak seperti impian cinta Romeo kepada Juliet yg dibuat oleh Shakespeare -akhirnya- tak tersampaikan. Ia adalah sebuah cita-cita adiluhung sekaligus merupakan kewajiban dan amanah yg diemban oleh tiap individu muslim. Setiap upaya ishlah hendaknya tidak diupayakan secara tambal sulam tapi merupakan episode-episode yg berurutan dan tak mengenal henti hingga visi rahmatan lil ‘alamin menjadi payung bagi peradaban kemanusiaan secara universal. Paragraf ini hendak menekankan bahwa kemunduran umat Islam di akhir Abad Pertengahan dicirikan dgn hilangnya tradisi belajar dan semangat spiritualis kaum Muslimin. Terdapat cukup bukti dalam sejarah bahwa maraknya perkembangan pemikiran-pemikiran dan pemahaman yang destruktif terhadap Islam turut mengambil peran bagi keruntuhan peradabannya. Ini adalah sebuah kenyataan kompleks dimana semangat keislaman yang kaffah menjadi merosot tradisi belajar yg hilang pemahaman aqidah yg rancu upaya-upaya destruktif musuh-musuh Islam pertikaian-pertikaian internal yg tak kunjung padam dan runtuhnya sendi-sendi amar ma’ruf nahi mungkar merupakan sebab-sebab utama dari keruntuhan peradaban umat Islam. Oleh krn itu bukanlah sebuah penyederhanaan masalah jika dalam memulai sebuah “penyusunan kekuatan” umat Islam harus merebut kembali tradisi belajarnya yg belum pernah dikenal dalam sejarah kemanusiaan sebelum dan sesudah mereka. Adalah Jabir bin Abdullah Al-Anshari yg menempuh perjalanan sebulan utk menemui Abdullah bin Unas Al-Juhani “hanya” utk mendapatkan sebuah hadits sebagaimana disebutkan dalam Shahih Bukhari. Pun pesan perdana yang diperintahkan oleh Allah SWT. kepada Nabi Muhammad SAW. dan umatnya adl “membaca” dalam pengertian yg seluas-luasnya.
Hanya dgn usaha yg sungguh-sungguh aqidah yg benar dan pengetahuan yg luas sebuah “rennaisance” umat Islam menjadi niscaya. Lebih lanjut “Masa depan kaum Muslim akan lebih banyak ditentukan oleh perencanaan yg hati-hati dan langkah-langkah konkret bukan oleh keindahan rumusan dan kegairahan memberikan nasihat-nasihat moral. Lembaga-lembaga belajar dan intelektual Muslim harus berdiri di barisan terdepan dalam mengampanyekan reformasi sosial dan ekonomi di seluruh dunia Islam.” Adalah kenyataan bahwa Barat menaklukkan negeri-negeri Islam setelah melewati proses mempelajari menelaah mengetahui lalu menguasai. Dalam sebuah kuliahnya di Kalkutta pada 1882 Jamaluddin Al-Afghani menegaskan “Kini para imperialis Eropa itu sudah menancapkan kuku mereka di seluruh penjuru dunia.
 Ibnu Qayyim Al-Jauziyah tidak saja seorang alim dalam berbagai ilmu Islam tapi juga seorang pujangga kenamaan yg melahirkan karya-karya brilian. Kemudian berderetlah nama-nama seperti Ibnu Rusyd Al-Biruni Al-Farabi dll. Karenanya semua disiplin ilmu yg ditekuni secara spesialis oleh para pelajar dan mahasiswa tidak bisa dilepaskan bahkan harus sejalan dgn ajaran Islam. Agar semua capaian-capaian ilmu dan teknologi membawa kemaslahatan dan kedamaian di muka bumi dan bukan justru kontra produktif bagi kehidupan manusia. Bagi umat Islam Indonesia hal di atas tampaknya masih seperti kereta yg baru saja meninggalkan stasiun.
Urgensi Kaderisasi Dakwah Merujuk pada profesionalisme da’i upaya untuk meningkatkan kualitas da’i harus terus ditumbuh suburkan. Maraknya training pelatihan-pelatihan da’i yg diselenggarakan oleh berbagai organisasi dakwah tidak saja dalam bingkai diatas tapi juga dalam rangka menyatukan rentak dan langkah para du’at. Di samping itu para du’at dituntut utk memperbarui keikhlasan mereka agar dapat melahirkan ketekunan dan kesungguhan yg tak lekang oleh panas. Harus dipahami bahwa kewajiban dakwah bukanlah sebuah pekerjaan sambil lalu tapi merupakan kewajiban atas tiap muslim .
Karenanya tiap muslim -apapun profesinya- adl juga da’i yg dituntut utk menyampaikan misi Islam seluas-luasnya sesuai dengan kemampuan. Memahami dakwah hanya sebatas ceramah dan khutbah saja adl sebuah preseden buruk bagi masa depan dakwah. Karena itu kaderisasi da’i melalui individu institusi keluarga di mana orang tua menjadi sokoguru institusi-institusi dakwah media massa dll, harus terus disemarakkan sehingga masalah mandeknya proses belajar mengajar di sebuah TPA krn ketiadaan tenaga pengajar tidak lagi terdengar.
Fajar Sedang Menyingsing Di balik capaian-capaian dakwah yg cukup mengesankan mulai awal dekade 80-an dgn berbagai variabelnya dalam bentuk intensitas pengamalan Islam yg menguat tidak boleh melenakan kita dari kenyataan yg sangat menyeramkan tentang degradasi moral yg berlangsung secara sangat sistemik dan dinamis melalui berbagai alat penyebaran informasi. Bukan satu kebetulan jika membanjirnya film-film pornografi seiring dengan turunnya harga barang-barang elektronik.
Pada saat yang sama narkoba menjadi suatu kenyataan yang biasa-biasa saja. Untuk generasi muda Islam saat ini sebagai akibat logis adl munculnya sebuah wajah generasi muda yg kabur akan identitas dan tujuan hidup dgn mentalitas lemah dan keropos. Jika kemudian kantong-kantong mayoritas muslim menjadi ladang pembantaian oleh kaum kafir di masa yg akan datang itu adl sebuah kelumrahan jika umat Islam tidak segera berbenah diri. Walau demikian Islam mengajarkan optimisme utk berjuang dgn niat yg ikhlash tekad membaja dan perjuangan yg sungguh-sungguh tak kenal lelah. Seorang muslim dalam persfektif Islam dituntut utk “menjual” dirinya dan hartanya dalam bentuk beriman pada Allah SWT. dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan Allah dgn harta dan dirinya dgn imbalan ampunan keni’matan sorga pertolongan Allah dan kemenangan yg dekat waktunya . Ulama cendekiawan dan tiap muslim yg memiliki kesadaran akan nasib umat Islam tidak bisa tinggal diam dan terus “sakit gigi” menyaksikan kenyataan memilukan ini “Jika kita masih ingin mendengar kumandang adzan dari masjid di dekat rumah kita.”
Maka dari itu, metode yang harus dikembangkan harus ssuai dengan zamannya, dan harus diterapkan dengan benar. Umpanya kita bisa mengambil metode dakwah dalam al-Qur’an, Rasulullah SAW, Khulafa Ar-Rasyidin, dan masih bayak metode yang bisa diterapkan untuk berdakwah.
C.    Dakwah Persfektif Sosial Dan Metode
Saat ini para pegiat dakwah mendapat tantangan yang cukup berat, baik berkenaan dengan objek dakwah maupun sarana yang menopang kegiatan dakwah. Semua itu bertumpu pada simpulan, “bagaimana agar dakwah itu efektif?” Efektivitas dakwah dapat diukur dengan tercapainya tujuan dakwah.
Belum Efektif
Maraknya dai muda yang kini banyak menghiasi layar kaca, tidak serta mesti menjadi ukuran bahwa dakwah Islam sudah efektif. Jejak dakwah KH Abdullah Gymnastiar, Pengasuh Pesantren Darut Tauhid, Bandung, meskipun kini sangat populer dan digemari banyak kalangan, menurut guru besar bidang Sosiologi Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya, Shonhadji Sholeh, belumlah efektif karena belum menggunakan perspektif sosial. Menurut Shonhadji, dakwah Islam saat ini masih menggunakan perspektif alami, yakni keberhasilan diukur dari pribadi juru dakwah, sehingga dakwah dianggap berhasil bila wilayah dakwah makin meluas.
Ukuran keberhasilan dakwah seharusnya dilihat pada perspektif sosial atau perubahan masyarakat sebagai dampak atas dakwah yang diterima. ‘’Jadi, ukuran keberhasilan itu bukan dari keberhasilan juru dakwah melakukan dakwah dimana-mana, tapi keberhasilan dakwah harus diukur dari perubahan yang dialami sasaran dakwah, yakni masyarakat itu sendiri,’’ tegas guru besar Sosiologi Islam pertama di Indonesia itu kepada CMM beberapa waktu lalu.
Menurut Shonhadji, juru dakwah umumnya menggeneralisasi materi dakwah di mana-mana, padahal materi dakwah harus disesuaikan dengan kondisi masyarakat. “Dakwah itu bukan satu cara, tapi bisa dengan ceramah, konseling, pemberdayaan lembaga perekonomian atau perbankan, dan banyak cara lainnya. Karena itu dakwah di desa dengan dakwah di kota harus menggunakan cara yang berbeda,’’ ungkapnya.
Shonhadji yang juga Ketua ISNU (Ikatan Sarjana NU) Jawa Timur itu menyatakan dakwah di perkotaan seharusnya dilakukan di gedung tertutup dengan menggunakan teknologi seperti sarana multi media yang tak cocok untuk masyarakat pedesaan. Dekan Fakultas Dakwah IAIN Surabaya itu menilai, dakwah dengan perspektif sosial itu harus menggunakan perencanaan, karena masyarakat kota dan desa juga sudah berubah. ‘’Juru dakwah juga harus tahu apakah masyarakat desa atau kota yang didatangi rawan konflik atau tidak, karena hal itu juga menyangkut pendekatan dalam dakwah,’’ tegasnya.
Lima “Pekerjaan Rumah”
Sementara itu, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah dan Ketua MPR RI, HM Amien Rais, dalam bukunya Moralitas Politik Muhammadiyah, menawarkan lima “Pekerjaan Rumah” yang perlu diselesaikan, agar dakwah Islam di era informasi sekarang tetap relevan, efektif, dan produktif.
Pertama, perlu ada pengkaderan yang serius untuk memproduksi juru-juru dakwah dengan pembagian kerja yang rapi. Ilmu tabligh belaka tidak cukup untuk mendukung proses dakwah, melainkan diperlukan pula berbagai penguasaan dalam ilmu-ilmu teknologi informasi yang paling mutakhir.
Kedua, setiap organisasi Islam yang berminat dalam tugas-tugas dakwah perlu membangun laboratorium dakwah. Dari hasil ‘Labda’ ini akan dapat diketahui masalah-masalah riil di lapangan, agar jelas apa yang akan dilakukan.
Ketiga, proses dakwah tidak boleh lagi terbatas pada dakwah bil-lisan, tapi harus diperluas dengan dakwah bil-hal, bil-kitaabah (lewat tulisan), bil-hikmah (dalam arti politik), bil-iqtishadiyah (ekonomi), dan sebagainya. ‘’Yang jelas, actions, speak louder than word,’’ kata Amien.
Keempat, media massa cetak dan terutama media elektronik harus dipikirkan sekarang juga. Media elektronik yang dapat menjadi wahana atau sarana dakwah perlu dimiliki oleh umat Islam. ‘’Bila udara Indonesia di masa depan dipenuhi oleh pesan-pesan agama lain dan sepi dari pesan-pesan Islami, maka sudah tentu keadaan seperti ini tidak menguntungkan bagi peningkatan dakwah Islam di tanah air,’’ ingat Amien.
Kelima, merebut remaja Indonesia adalah tugas dakwah Islam jangka panjang. Anak-anak dan para remaja kita adalah aset yang tak ternilai. Mereka wajib kita selamatkan dari pengikisan aqidah yang terjadi akibat ‘invasi’ nilai-nilai non islami ke dalam jantung berbagai komunitas Islam di Indonesia. ‘’Bila anak-anak dan remaja kita memiliki benteng tangguh (al-hususn al-hamidiyyah) dalam era globalisasi dan informasi sekarang ini, insya Allah masa depan dakwah Islam akan tetap ceria,’’ jamin Amien.(CMM)
2. Retorika Dakwah di Era Globalisasi
Dalam menghadapi tantangan global yang menjadikan dunia seolah menjadi dekat seperti menjadi satu kampung saja, kejadian disatu negara dapat diterima secepat kilat beritanya oleh negara lain,  kecanggihan komunikasi dan informasi semakin hari semakin manakjubkan. Dengan kecanggihan alat komunikasi pada saat ini para kepala negara dapat melakukan rapat dengan kepala negara lain tanpa harus beranjak dari tempat duduk di negaranya.
Dengan kecanggihan seperti di atas menurut Qardhawi  maka dakwah Islamiyah harus memiliki retorika dan karakteristik yang mendasar, yang mampu mengantarkan substansi dakwah kepada semua umat manusia. Dapat memuaskan nalar mereka dengan hujjah yang nyata, melunakan hatinya dengan mauidzah yang baik, tidak menyimpang dari hikmah dan tidak melenceng dari dialog dengan yang terbaik.
Menurutnya diantara karakteristik retorika dakwah yang harus dimiliki oleh setiap da’i adalah sebagai berikut:
1.     Mengajak manusia untuk beriman kepada Allah dan tidak mengingkari keberadaannya
2.     Meyakini wahyu dan tidak menafikan akal
3.     Menyeru spiritual dan tidak menyepelekan material
4.     Memperhatikan ibadah-ibadah syariyah dan tidak melupakan nilai-nilai moral
5.     Berdakwah guna mengagungkan aqidah, menyebar toleransi dan kasih sayang
6.     Memikat dengan hal-hal ideal dan peduli terhadap realita
7.     Mengajak kepada keseriusan dan konsistensi, dan tidak melupakan berhibur dan istirahat
8.     Berorientasi global dan tidak melupakan aksi lokals
9.     Mencermati modernitas dan berpegang teguh kepada orsinalitas
1)     Bersikap futuristik dan tidak memungkiri masa lalu
2)     Memudahkan berfatwa dan menggembirakan dalam berdakwah
3)     Mengumandangkan ijtihad dan tidak melampaui batasan permanen
4)     Menolak gerakan terorisme yang terlarang dan mendukung jihad yang disyariatkan
5)     Mengukuhkan eksistensi wanita dan tidak mengikis martabat laki-laki
6)     Melindungi hak-hak kaum minoritas dan menolak arogansi.
Dari penjelasan di atas  Qardhawi mencoba meneropong esensi rertorika berdakwah dalam Islam yaitu untuk menegakkan keadilan dalam seluruh sendi kehidupan, dan menepis tudingan Amerika yang menganggap umat Islam telah keliru didalam memahami esensi dakwah.

REFERENSI:
A. Hassan Wajah dan Wijhah Seorang Mujtahid Syafiq A. Mughni.
Baca Sejarah Umat Islam Josuf Syo’ub bagian akhir dari Bab Sejarah Daulah Turki Utsmaniyah.



Baca selengkapnya »

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © Fhu May Zhe 2010

Template By Nano Yulianto