Minggu, 28 November 2010

isyarat kepemimpinan dalam isra' mi'raj

BAB I
PENDAHULUAN
“Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hambaNya (Muhammad SAW) pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (TQS. Al Isra:1).
Isra’ dan Mi’raj merupakan peristiwa besar dalam sejarah da’wah Rasulullah SAW. Peristiwa Isra' Mi'raj merupakan salah satu mu'jizat Rasulullah SAW yang selalu diperingati umat Islam. Pelajaran ('ibrah) yang diambil dari peringatan itu umumnya hanya satu, yaitu diwajibkannya shalat lima waktu.
Terdapat banyak hikmah yang terkandung dalam peristiwa tersebut, yang sekaligus merupakan mu’jizat terbesar setelah Al-Quran.
Tentu itu benar. Tapi apakah hanya itu? Kalau kita kaji lebih dalam, sebenarnya Isra' Mi'raj mengandung pelajaran-pelajaran lain yang tak kalah penting. Apa itu? Salah satunya adalah isyarat kepemimpinan umat Islam atas seluruh agama, bangsa, dan umat lain di seluruh dunia. Di antara hikmah yang nyaris tidak pernah disinggung dalam sebagaian besar tulisan para ulama, adalah kajian Isra’ Mi’raj dalam konteks kepemimpinan berbagai uraian hikmah Isra’ Mi’raj.
Tulisan ini akan membahas hikmah Isra’ dan Mi’raj dalam tinjauan kepemimpinan politik dan sosial kemasyarakatan yang diisyaratkan kepada Rasulullah saw dan umat Islam atau umat manusia di seluruh alam.

BAB II
PEMBAHASAN
ISYARAT KEPEMIMPINAN DALAM ISRA’ MI’RAJ

B. Isyarat Kepemimpinan Rasulullah SAW dalam Isra’ Mi’raj
Jauh sebelum Rasulullah SAW diangkat menjadi rasul sampai terjadinya peristiwa Isra’ dan Mi’raj, dunia berada di bawah kepemimpinan Bani Israil. Saat itu kita juga mengetahui bahwa di dunia ini hanya ada dua agama besar yang pengaruhnya sangat dominan, yaitu Yahudi dan Nasrani, keduanya adalah agama Bani Israil.
Prof. Rawwas Qal'ahjie telah menerangkan isyarat kepemimpinan itu dalam kitabnya, Sirah Nabawiyah : Qira`ah Siyasiyah. Menurut Qal'ahjie, dalam peristiwa Isra' Mi'raj, terkandung isyarat peralihan kepemimpinan dunia. Dunia yang semula di bawah kekuasaan Bani Israil, kemudian beralih di bawah kekuasaan umat Muhammad SAW. Seperti diketahui, kepemimpinan dunia hingga terjadinya peristiwa Isra' Mi'raj, ada di bawah kepemimpinan Bani Israil, sebab agama-agama samawi yang masih ada --yaitu Yahudi dan Nasrani— adalah agama-agama bangsa Israil.
Namun dalam perjalanan mata rantai sejarah yang demikian panjang, Bani Israil maupun kedua agama tersebut tidaklah layak lagi memimpin dunia. Ada beberapa sebab mengapa mereka tidak layak untuk mengemban kepemimpinan dunia tersebut. Diantaranya – dan terutama- adalah lantaran mereka telah mengubah syariat agama Allah SWT untuk kemudian mereka jual ayat-ayatNya itu dengan harga murah. Selain itu mereka telah mengubah isi dan maksudnya sehingga kedua agama tersebut tidak mungkin lagi dikatakan sebagai masih murni alias asli seperti pada mulanya. Allah SWT berfirman:
“Maka celaka besarlah bagi siapa saja orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: ‘Ini (wahyu) dari Allah’ (yang maksudnya tidak lain hanyalah) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatannya itu. Celaka besarlah bagi mereka itu akibat dari apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan celaka besarlah bagi mereka akibat apa yang mereka kerjakan itu” (QS. Al Baqarah 79)
Tak dapat disangkal, kepemimpinan Bani Israil ini telah cacat dan rusak. Karena agama Yahudi dan Nasrani telah mengalami penyimpangan dan tidak murni lagi. Kitab Taurat dan Injil telah mengalami pencemaran dan perubahan (tahrif) akibat ulah pengikut-pengikutnya yang hanya memperturutkan hawa nafsu.
Dengan demikian, para pengemban agama Yahudi dan Nasrani pun sesungguhnya sudah tak layak lagi memimpin dunia. Karena itu, tongkat kepemimpinan dunia harus segera dipindahtangankan kepada umat lain yang lebih berhak dan lebih mampu memimpin dunia. Siapakah umat ini? Tiada lain adalah umat Muhammad SAW.
Oleh karena itu, kedua syariat agama itu tidak pantas lagi untuk diterapkan, sehingga dengan sendirinya tidak layak untuk memimpin dunia. Sikap dan tidakan para pemuka maupun pengikut kedua agama tersebut menyebabkan adanya keharusan untuk menanggalkan tongkat kepemimpinan, yang untuk selanjutnya mengalihkannya kepada suatu umat lain yang dipilih Allah SWT untuk mengemban beban amanah risalah-Nya.
Qal'ahjie kemudian menunjukkan isyarat-isyarat yang menunjukkan perpindahan estafet kepemimpinan dunia itu dalam Isra' Mi'raj. Dalam peristiwa Isra', Rasulullah SAW diperjalankan oleh Allah SWT dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha. Nah, di Masjidil Aqsha inilah, Rasulullah SAW shalat bersama para nabi dan Rasulullah SAW tampil sebagai imam. Berarti di belakang Rasululah SAW adalah para makmum yang terdiri dari nabi-nabi, di antaranya Nabi Musa dan Nabi Isa, alaihima as-salaam.
Dari peristiwa itulah, ada isyarat kepemimpinan umat Islam. Kata Qal'ahjie, dalam peristiwa shalat jamaah tersebut telah terjadi pencabutan kepemimpinan Bani Israil yang selanjutnya diberikan kepada umat Muhammad SAW. Dengan demikian, sejak peristiwa itu, manusia menjadi tidak sah beramal dengan agama-agama Bani Israil (Yahudi dan Nasrani) yang telah mengalami banyak sekali distorsi dan perubahan. Agar amal manusia sah dan diterima Allah, haruslah beralih kepada agama baru yang masih murni, yaitu Islam.
Peralihan kepemimpinan ini, kata Qa'ahjie selanjutnya, bukanlah peralihan yang sembarangan. Melainkan peralihan yang absah alias konstitusional. Mengapa? Sebab yang mengubah kiblat kepemimpinan adalah benar-benar para wakil dari seluruh umat. Dan mereka pun cendekiawan yang tidak mungkin berbuat salah, karena mereka adalah para nabi. Dengan demikian, siapa pun yang menentang peralihan kepemimpinan yang konstitusional ini, berarti melakukan perlawanan yang liar atau inkonstitusional. Dan tindakan yang paling tepat untuk menyikapi perlawanan inkonstitusional tiada lain adalah tindakan represif yang tegas.
Hal menarik lain yang dikemukakan Qal'ahjie, bahwa dengan peristiwa itu, berarti Masjidil Aqsha akan menjadi milik umat Islam. Mengapa? Karena dalam shalat jamaah yang dilakukan di suatu tempat, yang paling berhak menjadi imam adalah pemilik tempat itu. Jadi, karena yang menjadi imam adalah Rasululah SAW, berarti beliaulah yang menjadi pemilik Baitul Maqdis (Masjidil Aqsha).
C. Realisasi dari Isyarat Kepemimpnan dalm Isra’ Mi’raj
Itulah isyarat kepemimpinan umat Islam dalam Isra' Mi'raj yang dijelaskan oleh Prof. Rawwas Qal'ahjie dalam kitabnya, Sirah Nabawiyah : Qira`ah Siyasiyah. Bagaimana realisasi dari isyarat agung ini dalam kenyataan? Dalam sejarah kepemimpinan umat ini benar-benar terbukti. Setelah Rasulullah berhijrah ke Madinah (622 M) dan kemudian menegakkan negara dan masyarakat Islam, kepemimpinan Islam mulai terwujud. Sebab di negara baru tersebut, umat Islam memimpin umat-umat lain.
Dalam masyarakat Islam ada warga negara kaum Yahudi sebagaimana disebut dalam Piagam Madinah (Watsiqah Al-Madinah). Trcatat, kaum Yahudi itu adalah Yahudi Bani Auf, Yahudi Bani Najjar, Yahudi Bani Harits, Yahudi Bani Saidah, Yahudi Bani Jusyam, Yahudi Bani Aus, dan Yahudi Bani Tsa'labah. Dalam perkembangan berikutnya, kaum Yahudi Bani Quraizhah, Yahudi Bani Nadhir, dan Bani Qainuqa' juga menandatangani Piagam Madinah itu (Taqiyuddin an-Nabhani, Ad-Daulah Al-Islamiyah, hal. 54).
Kepemimpinan umat Islam di masa Nabi atas kaum Nasrani juga mulai terwujud. Untuk pertama kalinya, kaum muslimin berperang dengan kaum Nasrani di wilayah Syam dalam Perang Mu`tah. Memang dalam perang kali ini kaum muslimin tidak menang dan juga tidak kalah. Namun Perang Mu`tah ini menjadi jalan awal untuk penaklukan Syam (Fathu Syam) di masa Khalifah Umar bin Khaththab.
Pada masa Khalifah Umar bin Khaththab inilah, penaklukan Syam terjadi pada tahun 15 H. Dalam penaklukan Syam ini, Khalifah Umar dan para sahabat Rasulullah serta pasukan kaum muslimin memasuki kota Al-Quds dengan penuh kehormatan. Khalifah Umar menerima kunci kota Al-Quds dari kepala pemerintahaan Nasrani, yaitu Sefrounius.
Setelah memasuki kota Al-Quds ini, Khalifah Umar dan kaum muslimin melakukan shalat di Masjidil Aqsha. Inilah shalat yang kedua di bawah kepemimpinan umat Islam, setelah shalat pertama yang dilakukan oleh Rasulullah SAW pada malam Isra`. (As'ad Bayudh At-Tamimi, Impian Yahudi dan Kehancurannya Menurut Al-Qur`an, hal. 21). Subhanallah, isyarat kepemimpinan umat Islam terwujud sempurna.
D. Kondisi Kepemimpinan Umat Islam Saat Ini
Lalu, bagaimanakah kondisi kepemimpinan umat Islam saat ini? Masihkah umat Islam menjadi imam dunia, ataukah justru sekarang hanya menjadi makmum, mengikuti kaum lainnya? Pada saat kita memperingati Isra' Mi'raj, tentu sangat baik kita merenungkan persoalan kepemimpinan umat Islam ini.
Fakta yang ada sungguh tak dapat disangkal, bahwa kepemimpinan dunia saat ini tengah dipegang oleh kaum kafir, yaitu kaum Yahudi dan Nasrani. Amerika Serikat dan negara-negara kapitalis lainnya adalah pemimpin dunia saat ini. Mereka adalah kaum kafir beragama Nasrani. Selain itu dunia Islam juga dicengkeram masalah yang tak selesai-selesai, yaitu masalah Palestina. Kaum kafir Yahudi dengan negara Israelnya menjadi pihak yang dominan atas umat Islam Timur Tengah, dengan perlindungan dan dukungan Amerika Serikat yang Nasrani. Jadi, kepemimpinan dunia sekarang berada di tangan Yahudi dan Nasrani, bukan lagi di tangan umat Islam.
Para pemimpin negeri-negeri Islam pun pada umumnya adalah para pengkhianat. Mereka tidak berani melawan atau menentang kaum Yahudi dan Nasrani, tapi malah menjadi antek-antek mereka.
Kondisi umat yang hanya mengekor kaum Yahudi dan Nasrani ini sudah diisyaratkan juga oleh Rasulullah SAW. Sabda Rasulullah SAW,
"Sungguh kamu akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal sehasta demi sehasta, hingga kalau mereka masuk lubang biawak, kamu akan mengikuti mereka." Sahabat bertanya,"Apakah mereka Yahudi dan Nasrani?" Jawab Rasul,"Lalu siapa lagi?" (HR Bukhari & Muslim).
Kondisi itu jelas tidak diridhoi Allah. Seharusnya, yang menjadi pemimpin dunia adalah umat Islam, bukan umat Yahudi dan Nasrani. Allah SWT tidak membenarkan umat Islam menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin. Firman Allah Q.S. Al-maidah ayat 51 :
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpinmu, mereka satu sama lain adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kamu yang menjadikan mereka sebagai pemimpin, maka sesungguhnya orang itu tergolong ke dalam kelompok mereka..." (QS Al-Maidah : 51).
Maka dari itu, jelaslah bahwa umat Islam berkewajiban merebut kembali kepemimpinan dunia yang kini dipegang kaum kafir Yahudi dan Nasrani. Mereka tidak boleh lagi menjadi pemimpin dunia, sebab yang seharusnya memimpin adalah umat Islam, bukan umat kafir.
Namun kepemimpinan umat ini membutuhkan empat syarat yang penting, seperti dijelaskan oleh Prof. Rawwas Qal'ahjie dalam kitabnya, Sirah Nabawiyah : Qira`ah Siyasiyah yaitu:
Pertama, adanya sistem kehidupan yang baik, yang terwujud dalam pelaksanaan syariah dalam negara Khilafah, bukan dalam negara sekuler saat ini.
Kedua, adanya para pemimpin yang amanah, bukan pemimpin yang khianat seperti saat ini.
Ketiga, negara memerlukan suatu sistem dan aturan yang mapan yang dapat diterapkan sekaligus sesuai dengan fitrah manusia. Sistem dan aturan ini dianut (diakui) dengan suka rela oleh rakyatnya tanpa sedikitpun ada unsur paksaan dalam penerapan maupun penerimaannya. Dengan kata lain, rakyat menerapkannya dengan penuh kesadaran dan semangat.
Keempat, sistem dan aturan itu menghendaki adanya penguasa yang ikhlas dan jujur. Dialah yang bertanggung jawab melaksanakan sistem dan aturan yang ada.
Dengan empat syarat ini, insya Allah kepemimpinan umat Islam atas seluruh manusia dunia akan dapat terwujud kembali di masa depan. Inilah salah satu pelajaran terpenting dari peristiwa Isra' Mi'raj.
Semua hikmah di atas sesungguhnya menunjukkan bahwa peraturan yang diturunkan Allah SWT melalui Rasulullah SAW untuk manusia, adalah sebuah peraturan yang akan dijadikan sebagai landasan bagi negara dalam perspektif Islam. Ia akan menjadi satu-satunya asas dalam masalah penerapan hukum yang akan diberlakukan oleh Rasulullah SAW beserta umatnya, setelah beliau wafat, bahkan untuk sepanjang masa hingga akhir jaman. Tetapi yang penting adalah bahwa peraturan/ syariat agama tersebut adalah sesuai fitrah manusia.
Juga patut diketahui pula bahwa fitrah manusia itu tidak pernah akan berubah sampai kapanpun. Dalam hal ini apabila manusia dihadapkan kepada dua pilihan ekstrim, misalkan madu dan racun, maka orang yang berakal sehat pasti akan memilih madu dari pada racun. Dengan demikian, peraturan yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW adalah tetap abadi dan kekal keberadaannya, tidak berubah-ubah. Oleh karena itu, peraturan (syariat) Islam akan kekal selama manusia masih hidup di bumi.
Dalam peristiwa Isra’ Mi’raj, dimana Rasulullah SAW telah memimpin (menjadi imam) para nabi dalam shalat sunnah khusus; merupakan suatu pertanda adanya perubahan politik yang paling mendasar dan radikal. Dengan adanya kejadian ini, maka pola kepemimpinan dari Bani Israil telah dialihkan kepada Rasulullah SAW dan umat Islam. Kejadian tersebut bagi kita menandakan bahwa syariat dan nilai-nilai hidup yang telah usang dan rusak ( karena perbuatan Bani Israil sendiri) diganti dengan syari’at dan nilai-nilai hidup yang baru, adil serta sesuai dengan fitrah manusia. Dia adalah Syari’at dan Nilai-nilai Islam.
Pengalihan pola kepemimpinan dari Bani Israil sesungguhnya adalah langkah yang tepat dan wajar, mengingat dan memperhatikan tingkah laku Bani Israil yang tidak terpuji, semisal tindakan mereka membunuh beberapa orang nabi, mengubah-ubah syari’at agamanya (Yahudi dan Nashrani), membuat keonaran dan kerusakan di atas bumi, serta perbuatan tercela lainnya. Pengalihan kepemimpinan dunia dari tangan Bani Israil itu ternyata telah diberkahi (disetujui) oleh para nabi dengan tindakan mereka menjadi makmum dibawah komando Rasulullah saw (sebagai imam) dalam shalat khusus tersebut. Selain itu, landasan politik ini telah memberikan hak kepada negara Islam (yang kelak kemudian hari ditegakkan oleh Rasulullah saw di Madinah, yaitu tahun ke-13 dari kenabian) untuk mengikis habis gerakan permusuhan orang-orang Yahudi, Nasrani, serta orang-orang yang tidak menyenangi adanya syari’at nilai-nilai baru ini. Dalam catatan sejarah, sejak tahun ketiga Hijriyah, Rasulullah saw telah mulai dihadapkan kepada gerakan permusuhan tersebut.
Dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj Rasulullah saw, kepemimpinan beliau dalam shalat dengan para nabi, kemudian Mi’raj Rasulullah saw ke langit yang tertinggi, dan shalat khusus beliau di beberapa daerah (Yatsrib/Madinah, Madyan/Thur Sina di Mesir, Baithlehem dan Baitul Maqdis di Palestina), adalah isyarat kepemimpinan dan seluas apa nantinya wilayah negara Islam yang dirintis Rasulullah saw tersebut.
Ternyata, semua titik-taut wilayah tempat Rasulullah saw melakukan shalat akhirnya menjadi bagian Daulah Islamiyah yang tegak di Madinah; kekuasaan Islam akan mencapai daerah-daerah itu dan menguasainya. Sedangkan shalat khusus daerah masjidil aqsha ini akan menjadi kiblat pertama bagi kaum Muslimin dalam melakukan shalat berjamaah, ia menjadi bagian dari kekuasaan Islam.
E. Kepemimpinan Rasulullah Menyatukan Seluruh Bangsa/ Manusia
Kepemimpinan Rasulullah saw di dalam Shalat tersebut terhadap para nabi yang mempunyai keturunan dan ras bangsa yang berbeda, menunjukkan bahwa Daulah Islam dengan Syari’atnya yang manusiawi akan mampu mengayomi seluruh umat manusia tanpa harus membedakan warna kulit atau kesukuan. Semua suku dan bangsa akan hilang perbedaannya dan akan menjadi satu dalam wujud kesatuan Iman dan Islam. Semua manusia yang berlainan tersebut akan tunduk di bawah naungan Satu Syari’at, yaitu syari’at yang berasal dari Allah SWT. Rasulullah saw telah menetapkan prinsip tersebut setelah beliau mendirikan Daulah Islam di Madinah. Beliau bersabda di hadapan kaum Muslimin pada waktu Haji Wada di padang Arafah (dekat kota Makkah).
“Wahai manusia, sesungguhnya Rabbmu satu dan ayahmu juga satu. Kalian semua berasal dari keturunan Adam sedangkan Adam berasal dari tanah. (ketahuilah) yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah SWT adalah orang-orang yang paling bertaqwa kepadaNya. Tidak ada suatu keistimewaan untuk seorang bangsa Arab terhadap bangsa ‘Ajam (non Arab) kecuali taqwanya” (HR. Imam Baihaqi).
Prinsip ini ditegaskan oleh Rasulullah saw secara praktis dan bijaksana ketika beliau melaksanakan Hukum/Syari’at Islam atas seluruh rakyat tanpa membeda-bedakan satu dengan yang lainnya. Mereka mendapatkan bagian dan kedudukan sama dalam hak dan kewajibannya.
Oleh karena itu, Rasulullah saw pernah menegur Abu Dzar (seorang shahabat yang telah berjasa mengislamkan suku Ghiffar dari suku Aslam) lantaran telah mencela Bilal (seorang shahabat mantan budak dari Habasyah) sebagai “Anak perempuan hitam”. Rasul pun secara tegas menolak “grasi” yang dimintakan oleh kesayangan Beliau saw, Usamah bin Zaid, terhadap seorang wanita dari kalangan bangsawan Quraisy yang melakukan tindakan pencurian. Bahkan Beliau saw menegaskan:
“Sekalipun Fathimah putri Rasulullah saw mencuri, pasti akan kupotong tangannya”.
Dan terhadap orang-orang kafir dzimi, orang non muslim yang mau tunduk kepada hukum-hukum Islam sebagai warga negara Islam, beliau bersabda:
“Siapa saja yang mengganggu seorang kafir dzimi, berarti dia telah menggangguku”.
Demikianlah keadilan dan ketegasan kepemimpinan Rasulullah. Kepemimpinan yang jujur dan konsisten. Kepemimpinan yang tegak di atas fondasi keimanan kepada Allah yang Maha Adil lagi Maha Bijaksana. Kepemimpinan yang hanya menjalankan syari’at Allah SWT tanpa pandang bulu. Syari’at Islam, syari’at yang sesuai dengan fitrah manusia.
Oleh karena itu, bukankah sudah saatnya bagi kaum muslimin, kembali tunduk kepada kepemimpinan seperti itu, dan meninggalkan kepemimpinan-kepemimpinan yang hanya melaksanakan perintah-perintah hawa nafsu maupun perintah-perintah syaithan (dari kalangan jin dan manusia). Cukuplah ungkapan ayat-ayat Al-Qur’an terhadap kisah umat-umat terdahulu menjadi pelajaran buat kita. Allah SWT berfirman :
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi sesat. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik”. (QS. Al-Hadiid[57] : 16)


BAB III
KESIMPULAN

Prof. Rawwas Qal'ahjie telah menerangkan isyarat kepemimpinan itu dalam kitabnya, Sirah Nabawiyah : Qira`ah Siyasiyah. Menurut Qal'ahjie, dalam peristiwa Isra' Mi'raj, terkandung isyarat peralihan kepemimpinan dunia. Dunia yang semula di bawah kekuasaan Bani Israil, kemudian beralih di bawah kekuasaan umat Muhammad SAW. Seperti diketahui, kepemimpinan dunia hingga terjadinya peristiwa Isra' Mi'raj, ada di bawah kepemimpinan Bani Israil, sebab agama-agama samawi yang masih ada --yaitu Yahudi dan Nasrani— adalah agama-agama bangsa Israil.
Ketika itu tak dapat disangkal lagi Bani Israil maupun kedua agama tersebut tidaklah layak lagi memimpin dunia.
Ada beberapa sebab mengapa mereka tidak layak untuk mengemban kepemimpinan dunia tersebut. Diantaranya :
 Paling utama- adalah lantaran mereka telah mengubah syariat agama Allah SWT untuk kemudian mereka jual ayat-ayatNya itu dengan harga murah.
 mereka telah mengubah isi dan maksudnya
 Agama Yahudi dan Nasrani telah mengalami penyimpangan dan tidak murni lagi.
 Kitab Taurat dan Injil telah mengalami pencemaran dan perubahan (tahrif) akibat ulah pengikut-pengikutnya yang hanya memperturutkan hawa nafsu.
Sehingga kedua agama tersebut tidak mungkin lagi dikatakan sebagai masih murni alias asli seperti pada mulanya.
Dengan demikian, para pengemban agama Yahudi dan Nasrani pun sesungguhnya sudah tak layak lagi memimpin dunia. Karena itu, tongkat kepemimpinan dunia harus segera dipindahtangankan kepada umat lain yang lebih berhak dan lebih mampu memimpin dunia. Siapakah umat ini? Tiada lain adalah umat Muhammad SAW.
Isyarat-isyarat yang terjadi saat perjalanan Isra’ Mi’raj.
Qal'ahjie kemudian menunjukkan isyarat-isyarat yang menunjukkan perpindahan estafet kepemimpinan dunia itu dalam Isra' Mi'raj. Dalam peristiwa Isra', Rasulullah SAW diperjalankan oleh Allah SWT dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha. Nah, di Masjidil Aqsha inilah, Rasulullah SAW shalat bersama para nabi dan Rasulullah SAW tampil sebagai imam. Berarti di belakang Rasululah SAW adalah para makmum yang terdiri dari nabi-nabi, di antaranya Nabi Musa dan Nabi Isa, alaihima as-salaam.
Dari peristiwa itulah, ada isyarat kepemimpinan umat Islam. Kata Qal'ahjie, dalam peristiwa shalat jamaah tersebut telah terjadi pencabutan kepemimpinan Bani Israil yang selanjutnya diberikan kepada umat Muhammad SAW. Dengan demikian, sejak peristiwa itu, manusia menjadi tidak sah beramal dengan agama-agama Bani Israil (Yahudi dan Nasrani) yang telah mengalami banyak sekali distorsi dan perubahan. Agar amal manusia sah dan diterima Allah, haruslah beralih kepada agama baru yang masih murni, yaitu Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Hidayatul Akbar, SE, M.Si Humas HTI Kal-Sel
www.khilafah1924.org
www.spesialis-torch.com
Baca selengkapnya »

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © Fhu May Zhe 2010

Template By Nano Yulianto